Rumah Angker
Roh
Peminta Tumbal
SEJAK tadi suara itu
mengganggunya. Suara seorang perempuan penuh desah kemanjaan itu, seakan
memanggil Evan beberapa kali. Dahi Evan berkerut, hatinya bimbang dengan
pendengarannya. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di
tengah malam. Apalagi tepat berada di depan rumah Angker itu.
Evan sengaja melupakan suara
itu. Ia mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki
Arman, teman satu kost-an. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan memanggil
Arman yang hendak masuk ke kamar sebelah.
“Man... jam berapa ini?” tanya Evan.
“Setengah satu kurang,” jawab
Arman sambil membetulkan pakaiannya yang kurang rapi. Agaknya ia habis dari
kamar mandi untuk mandi besar. Arman langsung menimpali, “Kau sendiri kan punya
alroji, masa’ masih tanya aku?”
“Alrojiku mati! Eh, sebentar,
Man!” Evan keluar dari kamar. Dia tidak sekadar melongokkan kepala. Ia
mendekati Arman yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri. Dengan nada
berbisik Evan bertanya,
“Man, kau tadi waktu pulang
melihat ada perempuan berdiri di depan rumah angker itu nggak?”
“Maksudmu?” Arman berkerut
dahi.
“Aku melihat perempuan cantik
yang berdiri di depan rumah angker itu, ia seakan-akan memanggil-manggil aku.”
“Cuman halusinasi kamu aja
kali!” jawab Arman seenaknya. Evan hanya mendesah.
“Aku serius, Man. Dari tadi aku
tidak bisa tidur karena terbayang penampakan dan mendengar suaranya.”
Arman berpikir sejenak,
tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu ia pulang tadi, ia tak
melihat sekelebat manusia. Karena saat ia pulang, alrojinya sudah menunjukkan
pukul 11:40 malam. Dan dijalan itupun sudah sepi banget. Maklum sudah lewat
tengah malam. Beberapa mahasiswa itu sering menceritakan kejadian yang sama.
Kalau setiap malam, jikalau ada yang melihat ke arah rumah angker itu, pasti
akan bisa melihat penampakan tersebut.
“Menurutku, kau hanya
terngiang-ngiang cewekmu saja,” kata Arman.
“Maksudmu, Vivi? Ah, suara Vivi
tidak seperti itu.”
“Kalau begitu, kau benar kalau
kau hanya mendengar suara hatimu saja. Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot
memikirkan suara, kau kan bukan penata rekaman!”
Arman masuk, menutup kamarnya.
Evan mengeluh dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau masuk ke
kamarnya. Oh, kost-an itu sangat sepi. Lengang. Denni yang biasanya masih
memutar kaset sampai larut malam, kali ini agaknya sudah tidur pulas diranjang
empuknya itu. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di kamar lain pun
sudah padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Mahmudi dan
kamar Hasan. Mungkin mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok pagi.
Tengkuk kepala meremang
kembali, Evan bergidik. Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika
ia masuk ke kamar dan hendak menutup pintu, ia mendengar suara perempuan dalam
desah kemanjaan yang memanggilnya.
“Evaaaan...! Evaaan...”
Lampu kamar Evan sengaja
diredupkan. Ia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya,
tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri
dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada hanya
kegelisahan dari kecamuk hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara
panggilan itu.
Angin malam lewat. Desaunya
terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu
terdengar lagi setelah dua menit kemudian.
“Evaaaan...! Datanglah...!”
Dengan berkerut-kerut dahi,
Evan bangkit dari rebahannya. “Suara itu seperti berada di luar jendela,” pikir
Evan. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin membuka pintu jendela, tetapi
ragu. Hatinya berkata, “Tidak mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana
ia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau memang
ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekad namanya.”
Kemudian, telinga Evan agak
ditempelkan pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin,
gemerisik dedaunan. Kamar Evan memang kamar paling ujung dari sederetan kamar
kost-kostan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang
tanah yang biasa dipakai olah raga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja
ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring, menempel dinding kamar
Evan. Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar
tembok. Pada bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu tak
diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon rambutan milik tetangga
belakang kostan. Dan agak ketimur dari pohon rambutan itu, rumah angker itu berdiri.
Evan sudah tiga menit lebih
berdiri di depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak
terdengar lagi. Maka, ia kembali ke pembaringan dan merebahkan badan.. Ia
kelihatan resah. Batinnya bertanya-tanya,”Mengapa aku mendengar suara itu? Dan,
sepertinya memang aku pernah mendengar suara itu. Suara siapa, ya?”
Ada gonggongan anjing dari
rumah belakang kostan. Gonggongan anjing itu mulanya hanya sesekali. Ditilik
dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat.
Tetapi, gonggongan anjing itu
lama-lama jadi memanjang. Mengalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih
kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di
pendengaran Evan.
“Evaaaaan..! Eveee...! Lupakah
kauu...? Lupakah kau padaku, Evan...!”
Evan segera melompat dari
pembaringannya, dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya
diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding.
Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela
kamarnya. Padahal suara tadi jelas terdengar di depan jendela, seakan mulut
perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Evan.
Tetapi, kenyataannya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.
“Brengsek..!” geram Evan. Ia menunggu
beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin
menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu
tidak terdengar lagi.
Evan mengeluh kesal sambil
duduk di kursi belajarnya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar.
Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang
sayu.
Pintu kamarnya tiba-tiba ada
yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pe-ngetuknya sengaja
hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni kostan yang lainnya.
Evan melirik kearah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu,
ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya. “Eve...? Evaaaan...!”
“Siapa..?!” tanya Evan dengan
nada kesal, karena ia tahu, bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya
itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi. Tapi, karena tidak
ada jawaban dari pengetuk pintu, Evan berseru lagi,”Siapa sih?! Jawab dong!”
“Aku...!”
“Aku siapa..?! sebutkan..!”
Evan sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar