Impian Pada Bintang



1.
Seorang Gadis Remaja
Umam Sang Naga



Malang, Mei 2011 ...

Apakah kalian percaya dengan yang namanya cinta? Jika iya, coba ceritakan bagaimana pengalaman anda menyikapi rasa cinta yang timbul dari lubuk hati kalian yang paling dalam! It’s okay, jikalau diantara kalian tidak ada yang mau maupun bisa untuk mengungkapkannya, tetapi teruskanlah untuk berusaha memperjuangkan rasa cinta kalian.
Kalian semua pengen tahu tentang cinta dariku? Oh well, I will tell you...
“Aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Aku tidak percaya lagi, semenjak mereka berdua tiada. Mereka berdua pergi meninggalkan aku tepat di depan kedua mataku! Mereka terbunuh, entah siapa yang tega untuk melakukan hal itu pada mereka!”
“Setelah kematian mereka berdua, aku berniat untuk menyembunyikan jenazah mereka di rumah. Aku tidak ingin siapapun mengetahui kalau kedua orangtuaku sudah tiada, karena itu akan menimbulkan kecimbungan di antara tetangga. Jadi, aku memasukkan jenazah mereka ke dalam sebuah ruang, yang mana tidak akan ada yang mencurigainya.”
“Mama... Papa....!”
Seketika itu, datanglah tiga orang pria yang memakai penutup muka (cadar). Mereka berdua langsung menyekapku. Setelah mereka berhasil menyekap aku, mereka langsung berlari menuju ke lantai atas, dimana aku menyembunyikan jenazah mereka berdua. Aku tetap berusaha untuk melepas ikatan yang di pasang oleh kedua perampok tadi.
Sementara itu, tiga perampok yang naik ke lantai atas hanya bisa terdiam dan terpaku ketika melihat jenazah kedua orangtuaku yang sudah membusuk itu.
“Apa.. apaan ini?!”
“Siapa yang telah membunuh mereka berdua..??”
Salah satu di antara ketiga perampok itu mencoba menyelidiki sudah sejak kapan kedua orangtuaku itu mati. Dan ternyata sudah dapat disimpulkan kalau kedua orangtuaku itu sudah meninggal selama lebih dari tiga bulan. “Mereka berdua sudah meninggal selama lebih dari tiga bulan..!”
“Lalu, siapakah orang yang telah melakukan hal ini..?”
“Aku yang melakukannya..!” terdengar suara gadis yang muncul dari lantai bawah. Suara itu ternyata aku yang hendak naik ke lantai atas, dimana ketiga perampok itu berada saat ini.
Aku pun langsung membuka pintu. Begitu melihatku, mereka menggeram ketakutan. Dan tanpa emosi apapun, aku itupun langsung menghabisi ketiga perampok itu.
“Aaarrrgh... tolooong....!!!” jerit ketiga perampok itu.
****************
Keesokan harinya,
Tidak ada alasan untuk menunda-nunda untuk segera berangkat ke sekolah hari ini. Inilah waktunya buat aku untuk masuk ke sekolah baruku ini. Aku memutuskan untuk bersekolah di SMAN 1 Malang, karena lokasinya dekat denganku, dan akreditasi sekolah itu sudah A, jadi itu termasuk sekolah elit.
Terdengar suara dari luar kamarku, “Umam, cepat berangkat. Nanti kamu telat loh..!”
Ibuku, Erna Widyawati adalah ibuku yang paling cerewet dan nyebelin. Setiap hari tingkahnya seperti gadis tomboy, juga dia terlalu berlebihan dalam menetapkan prinsip kedisiplinan kepadaku, putranya sendiri.
Aku yang sudah selesai beres-beres dan menyiapkan kelengkapan-kelengkapan dan alat tulis yang kuperlukan saat di sekolah, langsung turun ke bawah untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan ibuku itu.
“Wah, ayam goreng lagi..?!”
“Iya. Ibu baru saja mendapat kiriman uang dari ayahmu, jadi hari ini ibu kepengen untuk memasak sesuatu yang lezat dan spesial untukmu..!”
Aku langsung melahab hidangan yang disediakan oleh ibuku itu. Aku senang sekali hari ini aku di perlakukan seperti seorang raja oleh ibuku. Memang sih, semenjak ayahku jarang pulang kerumah karena bekerja siang dan malam, ibuku jadi agak kesepian. Tetapi, ibuku tetap aja bisa menyembunyikan rasa kesepiannya itu dengan diganti dengan canda dan tawa.
Selesai makan, aku pun berangkat, “Ma, aku berangkat dulu yah..!” aku menyapa ibuku dari luar pintu. “Iya. Disekolah carilah teman yang banyak yah, dan jangan pacaran sama cewek yang banyak dulu yah..!”
Aku berangkat dengan jalan kali. It’s okay, karena sedari SD aku sudah sering berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang gadis yang teramat cantik dan manis. Namun sayang, pagi itu dia terlihat mendung, dan suram. Aku ingin menyapanya, tetapi dia malah mempercepat jalannya.
“Siapa gadis tadi itu yah?” pikirku sambil bertanya-tanya.
“Kenapa dia tadi terlihat begitu murung. Apakah ada yang terjadi padanya..??”
Tak sampai lima menit aku tiba di sekolah. Begitu aku memasuki halaman sekolah, semua pandangan siswa dan siswi itupun tertuju padaku. Mungkin karena aku ganteng kali. Ternyata setelah kuselidik, pandangan mereka ternyata tertuju kepada gadis yang tadi. Yang saat ini sudah berada tepat dibelakangku.
“Wow, Rieda makin hari makin cantik aja..!” kata para siswa yang sejak dari tadi selalu meliriknya.
“Gue jadi jealous sama dia..!” bisik para siswi.
Ketika aku berbalik, aku tidak sengaja menabraknya. Dia pun jatuh, dan aku segera mengulurkan tanganku dan menolongnya untuk berdiri.
“Maaf.. kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Ennggak.. enggak....!” jawabnya singkat. “Makasih atas pertolonganmu yah..!”
 “Udahlah, nggak perlu..! ini semua memang sudah merupakan kewajibanku untuk membantu seseorang disaat mereka kesulitan.” jawabku supaya terlihat keren dihadapan gadis yang dipanggil Rieda itu.
Belum sempat aku menanyakan namanya, dia sudah cabut duluan. Aku sih tidak terlalu paham dengan isi perasaan seorang wanita, jadi aku hanya diam dan kemudian masuk ke kantor kepala sekolah.
Sesampainya aku disana, ada seorang gadis lagi yang menarik perhatianku. Dia adalah Mela, gadis yang pernah menjadi dambaanku sewaktu aku masih sekolah di sekolah yang lama. Tiga bulan tak berjumpa, dia masih kelihatan cantik aja. Bahkan, saat ini kecantikannya masih belum ada yang menandingi, menurutku. Namun berbeda dengan pendapat para siswa dan siswi lain. Para siswa dan siswi lain lebih menganggap kalau Rieda adalah gadis yang paling cantik dan manis disana. Tapi, menurutku Rieda itu biasa-biasa aja. Iya sih kalau dia cantik, namun aku sudah terlanjur suka sama Mela. Jadi gimana lagi.
“Mel..!” panggilku dari kejauhan.
“..Bukankah kau itu Umam..? Umam si cupu itu yah!?” balasnya sambil meledekku.
“Cupu.. cupu?!! Setiap hari, kalau kita ketemu, kau selalu aja meledekku dengan sebutan si cupu. Risih tau..!”
“Ooo.. maaf-maaf. Aku nggak menduga kalau kau juga mau sekolah disini. Gimana dengan sekolah kamu dulu?” tanyanya.
Aku masuk ke ruang kepala sekolah dengan ditemani oleh Mela. Sambil ngobrol ini-itu. “Sekolah kita yang lama sekarang ini telah dibubarkan!” Mela langsung kaget mendengarnya, “Benarkah itu? Memangnya kenapa..?” “Entahlah. Denger-denger sih, tanah yang dipakai buat mendirikan sekolah kita itu, merupakan tanah yang ilegal. Jadi, dengan berat hati, aku dan seluruh pihak sekolah harus meninggalkan sekolah kita itu..!”
Sebelum pak kepala sekolah datang, aku dan Mela yang sudah sampai di ruang kepala sekolah, langsung duduk di sofa yang empuk dan meneruskan perbincangan kami berdua. Dan tak lama kemudian, ku beranikan untuk menanyakan sesuatu mengenai Rieda itu ke Mela.
“Mel, Rieda itu siapa sih?!” tanyaku serius.
“Hmm.. Rieda? Oh, gadis cantik yang pendiam itu yah!”
“Iya,” sentakku.
“Rieda itu nama panggilan dari Ferida M Wulandari. Dia merupakan puteri tunggal dari seorang pengusaha terbesar di Indonesia. Kalau tidak salah, namanya adalah Prida Bank!” jawabnya.
“Lalu..”
“Aku tidak tahu. Gadis itu cenderung menutup diri dari dulu, Mam. Jadi aku nggak tahu persis profilnya. Namun kudengar-dengar dari siswa dan siswi lain sih, kalau dia gadis yang aneh.” Mela membisikkan kata-kata itu tepat ditelinga kananku.
“Aneh..? aneh gimana..!?” tanyaku semakin penasaran.
“Entahlah, itu cuman rumor aja..!”
Tak lama kemudian, Abah Nadjib itupun datang keruangan. Tak terasa aku sudah ngobrol dengan Mela selama tiga puluh menit. Saat Abah Nadjib datang, Mela itupun memutuskan untuk pergi. Katanya sih dia mau pergi menemui Pak Bus.
“Nama kamu Umam, kan?!” tanya Abah Nadjib.
“Bagaimana Abah tahu namaku. Kita kan baru saja ketemu!”
“Sudahlah, Mela yang memberitahuku tadi. Apakah kau yakin mau masuk ke sekolah ini, nak? Seperti yang kau tahu kalau sekolah ini merupakan sekolah yang elit, dan tidak sembarang siswa bisa masuk kemari.”
“Aku yakin, Bah! Karena aku dulu disekolah yang lama, prestasiku tidak kalah jauh dengan prestasi siswa dan siswi disini.”
“Okelah, sini berikan raportmu. Biarkan raportmu yang menjelaskannya..!”
Aku memberikan raportku itu pada Abah Nadjib. Setelah dilihat-lihat, prestasiku disekolah lama tidak terlalu jauh dengan prestasi siswa-siswi disini, jadi aku diperbolehkan masuk disekolah yang elit itu.
Sungguh bahagia aku waktu itu, bisa bersekolah dengan Mela lagi. Setelah tiga bulan kami berdua berpisah.
“Bagus juga nilaimu, nak! Okelah, kau bisa masuk kesekolah besok, karena abah perlu memasukkan arsip profil kamu ke database sekolah,” kata Abah Nadjib.
“Jadi, aku diterima bersekolah disini?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, setelah kami lihat prestasi kamu cukup lumayan. Oleh karena itu, kau layak untuk bersekolah disini. Tetapi jangan anggap kalau ini akan enak untukmu. Karena tugas dan belajar yang banyak menunggu kamu besok..!”
“Baik, saya mengerti..!”
“Okelah, kau boleh pulang!”
Aku pulang dengan perasaan bahagia. Aku tak menduga kalau siswa yang memiliki prestasi rata-rata ini bisa masuk kesekolah elit itu. Waktu aku menceritakan hal ini ke ibuku, dia merasa heran. Karena tidak biasanya sekolah se-elit seperti SMAN 1 Malang itu mau menerima siswa yang prestasinya cuman rata-rata. Meskipun begitu, dia tetap bersyukur.
“Ma.. aku keterima bersekolah di SMAN 1 Malang loh!” kataku yang begitu bahagia itu.
“Benarkah? Kuucapkan selamat kalau gitu. Mulai besok, kau harus mulai rajin belajar, Mam. Supaya mereka tidak kecewa telah menerima kamu bersekolah disana!” jawab ibuku seraya memunculkan senyuman yang indah.
“Mama..!”
“Tapi, terdengar aneh.. kenapa sekolah se-elit SMAN 1 Malang itu, mau menerima anakku yang prestasinya cuman rata-rata. Apakah mereka mempunyai rahasia atas semua itu?!” pikir ibuku, yang secara jeli menangkap sebuah maksud dari pihak sekolah.
Sekolah terasa sepi disaat malam itu. Udara yang masuk semakin membuat bulu kuduk berdiri. Malam itu, Abah Nadjib masih belum pulang, karena ia masih harus menyelesaikan sebuah arsip sekolah yang harus dia serahkan besok kepada pemilik yayasan.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Duuh, sudah malam banget, arsipnya enggak selesai-selesai..” Abah Nadjib mengeluh. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Abah Nadjib yang mendengar hal itu sudah biasa. Karena dia tahu suara langkah kaki siapa itu.
“Gimana, abah.. apakah kau sudah memasukkan siswa yang bernama Umam itu?” tanya Rieda. Tatapan dingin Rieda itu semakin menyekik udara waktu itu.
“Sudah. Aku sudah melakukan apapun sesuai perintahmu. Jadi, bisakah kau tinggalkan aku sendiri sekarang ini..?” jawab Abah Nadjib, yang terasa dari romannya kalau dia benar-benar takut pada gadis psychopath itu.
“Bagus. Dengan begini, aku tidak akan melapor ke kedua orangtuaku untuk menutup sekolah ini. Aku harap kalau suatu saat nanti, aku bisa mengandalkan kamu lagi, Abah!”
Keesokan harinya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar